Kamu
itu emang istimewa. Tapi kamu gak pantes untuk diperebutkan, karena
menurutku gak ada perempuan yang sempurna untuk memiliki hatimu. Termasuk aku. Batinku hari ini memang sedang tidak karuhan
semenjak pulang sekolah tadi siang. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam
sore, namun sampai saat ini pula otakku masih mengingat omongan teman
perempuanku tadi disekolah.
“Ay gue pengen banget kebagian
kelompok bareng dia.” Ucap temanku.
“Dia siapa bro?? Cie-cieee... adik
kelas yo?” Tanyaku usil.
“Itu loh Ay, yang waktu UAS kita
sekelas bareng sama dia. Yang duduk sama Anisa, terus duduk sama lo. Namanya
Andi.” Jawabnya bersemangat. Mendengar ucapannnya hatiku sedikit miris. Ya Allah, mengapa selalu begini, orang yang
aku suka selalu saja sama dengan orang yang disukai teman dekatku. Aku harus
bagaimana????. Ia terus berceloteh tentang kedekatannya bersama
“Andi”. Yaampun aku kalah
start. Dia dekat sekali dengan anak itu. Sedangkan aku?? Kami dekat hanya
sebatas masa ujian berlangsung saja. Selebihnya, sama sekali kami tak pernah
berkontak. Aku envy denganmu Lin.
Sepanjang ia bercerita, sepanjang itu
pula aku menerka-nerka dihati. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap itu juga
hatiku meringis. Seandainya aku bisa menjadi Nenek (sahabatku yang suka asal
ngomong) disaat itu juga aku akan teriak “WOOOYYY GUE JUGA SUKA SAMA ANDI”.
Tapi sayang, kenyataan itu biasanya suka bertolak belakang sama khayalan. Aku
perempuan yang sangat perasa, yang gak bakal bisa melihat orang kecewa karena
diriku. Lalu aku harus bagaimana?????.
^&*^&*^&*^&*^
“Kak.. tau jawaban nomer ini gak?”
Anak itu bertanya padaku, sambil menyodorkan kertas ulangannya kearahku. Aku
yang saat itu sedang pusing dengan soal ujian matematika, hanya bisa melirik
sekilas, lalu langsung menolaknya.
“Maap ya Dek. Gue gak tau.” Jawabku
singkat. Aku mengabaikannya. Hari berikutnya pun masih sama, ia tidak gentar
untuk bertanya padaku. Malah ia sedikit mengagetkanku dengan mencolek tanganku.
Aku sempat tersentak ketika ia mencolek. Lalu lagi-lagi ia berkata,
“Kak, tau yang ini gak?” Karena aku
sudah terlanjur menoleh, mau tak mau aku melihat lembar soal miliknya, biar di
cap sebagai kakak kelas yang baik hati gitchu , hehehe. Aku membaca dengan seksama.
Untung saja itu bukan soal hitung-hitungan, karena jujur saja aku payah dengan
bidang itu. Mmmmm ini sih gampang. Sosiologi gituh, pelajaran andalanku sewaktu
kelas sepuluh dulu. Nilaiku selalu tinggi dipelajaran ini. Dengan sok tahunya
diriku ini, kuambil kertas soalnya, lalu langsung kucoretkan hasil jawabanku
dikertas soal miliknya.
“Yang ini jawabannya dek.” Jawabku
sok pinter. Setelah itu, ia langsung tersenyum padaku sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Oooooohhh aku baru ingat sekarang. Mungkin saja awal
perasaanku padanya dimulai ketika melihat ia tersenyum. Entah apa yang aku
rasakan saat itu. Yang jelas aku tak bisa berkonsentrasi lagi.
Hari ke-3 ulangan semester. Aku masih
duduk bersamanya tanpa mengetahui siapa nama dari sosok laki-laki yang setia
menemaniku selama ujian berlangsung. Uugggghh so sweat yah kedengarannya, hehe.
Dan di hari itu, entah ada angin apa, rasanya aku ingin sekali berkenalan
dengan anak itu. Ingin tahu namanya, ingin berbincang dengannya.
Alhamdulillahnya Allah mengabulkan satu permintaanku. Walaupun menurut orang
lain tidak penting, tapi menurutku ini sangat penting sekali. Melalui cara-Nya
aku jadi tahu siapa nama anak itu.
“Kak ini.” Ia memberikan selembar
kertas daftar hadir siswa padaku. Lalu segera kuambil dan kutulis namaku diatas
kertas itu. Setelah selesai menuliskannya aku meletakkan pulpen, yang ternyata
berbarengan dengan ia meletakkan pulpenya pula. Aku langsung menoleh, dan
lagi-lagi aku disuguhkan dengan senyum manisnya. Oh May God..
“Aku duluan kak.” Ia berbisik padaku
sambil memberikan kertas yang telah diisinya. Aku menerimanya dengan tampang
bingung atas ucapannya. Memang kita lagi lomba??? Main dulu-duluan? Atau
jangan-jangan ia pamit ingin pulang?? Atau itu adalah suatu pertanda kalau ia
akan meninggalkan dunia ini??? Hiiii seramnyaaa, aku langsung mebuang pikiran
aneh itu dari otakku. Setelah itu ia menyerahkan kertas milliknya padaku,
dan aku menerimanya, dari situlah aku mengetahui namanya. “Andi T.W”, oh itu
toh nama kamu dek. Tak berapa lama kemudian kami telah sibuk sendiri-sendiri,
aku berusaha berkonsentrasi dengan ujianku, begitu juga dirinya, ia berusaha
mencari-cari jawaban dengan bertanya dengan temannya yang duduk tak jauh dari
bangkunya. Setelah selesai aku mengerjakan soal Bahasa Indonesia-ku. Aku
bingung ingin melakukan apa lagi. Aku iseng melirik soal ujian miliknya. Damn,
ia melihat kesempatan itu. Lagi-lagi ia bertanya padaku. Alhamdulillahnya itu
soal sejarah, jadi ya lumayanlah aku bisa mengarang-ngarang tentang jawabannya.
Hihihihi maapin aku ya dek J. Huhh lumayan banyak juga dia nanyanya ke-aku.
Mungkin dia percaya kalo aku bisa sejarah. Gara-gara dia berisik, kita sempet
diomelin sama guru pengawas. Dan dengan tampang pongonya, dia malah ketawa-tawa
tanpa rasa berdosa. Dasar Andi-andi.
Hari ini hari kamis, berarti ini hari
ke-4 aku mengerjakan ujian semester. Tadi malam aku tak bisa berkonsentrasi,
yaampun Andi selalu menyelinap diotakku. Dan sepanjang malam itu aku hanya bisa
mengingat-ingat apa yang udah kami lakuin bareng dikelas saat ujian
berlangsung. Setiap aku membayangkan senyumnya, selalu saja aku tersenyum
sendiri. Dan ketika itu,
“Pagi kak. Hari ini hari yang indah
ya??”. Aku kaget mendengar suara itu. Dia duduk disampingku sambil sibuk
mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya.
Aku menatapnya dengan gaya tangan
menompang kepala yang kuarahkan padanya. Ia engeh kalau sudah diliatin. Dan
lagi-lagi ia tersenyum kepadaku. “ Kakak keliatan bahagia hari ini”. Sekali
lagi aku ingin berubah menjadi nenek, ingin ku-ucapkan padanya, itu
karena kamu dek. Senyummu buat aku galau mulu dirumah. Iiissssh geregetan deh. Tapi saat itu aku hanya bisa
tersenyum. Aduuuuhhhh dek, you make me crazy coz your smile...
zzzzzz iam happy when you come in my live. Lagi-lagi aku menghayal, dan ia selalu menggangguku. “Noh kan
ngelamun lagi”.
“Ih apaan si dek. Waahh diem-diem lo
suka merhatiin gue ya. Ckck jangan-jangan....” Aku tersadar, pede kali diriku
kalau melanjutkan ucapan itu. Kutinggalkan dirinya duduk sendirian dimeja kami.
Aku harus pergi sementara untuk menjernihkan otakku. Bisa mati mendadak aku
kalau bertahan disitu. Ia hanya melihatku berdiri, tak ada sepatah kata yang ia
lontarkan. Aku tersenyum padanya dan segera pergi. Sumpah demi jantungku
tiba-tiba berdegub kencang. Apakah ini pertanda???.
Bel istirahat berbunyi. Aku langsung
menghambur keluar tanpa melihatnya sama sekali. Sepertinya ia belum selesai
mengerjakan semua soalnya. Aku dan sahabatku Siti, selalu meluangkan
waktu untuk sholat dhuha di mushola sekolah. Dan untuk pertama kalinya aku
melihat bocah itu sholat juga di mushola. Subhanallah aku makin terkesima.
Selesai sholat, kami (aku dan siti) belajar sebentar di mushola. Saking
keasyikkannya aku tak mendengar suara bel masuk. Keluar dari mushola, kami
panik. Kantin sepi, koridor kelas juga sudah sepi. Aku buru-buru memakai
sepatu, bahkan aku tak sempat memakai kaus kaki. Kami segera meluncur
meninggalkan mushola, berlari menaiki anak tangga, dan akhirnya sampai juga
dikelas masing-masing. Aku sampai terlebih dahulu, sedangkan siti harus jalan
melewati dua kelas dulu untuk sampai kelasnya. Sampai depan kelas, aku mengatur
napasku dahulu, lalu aku mengetuk pintu, dan segera masuk kedalam. Di tempat
duduk, lagi-lagi aku harus mengatur napasku yang engos-engosan. Setelah itu aku
langsung memakai kaus kaki. Dan dia, teman sebangku-ku plus adik kelasku
berkomentar,
“Makanya kak, jangan ngobrol di
mushola. haha” Dia menertawakanku?? Whats, dia ngajak perang??. Njir, coba
kalau waktu itu aku sedang tidak buru-buru, sudah aku ladeni dia. Tapi sayang
waktu itu aku belum menyelesaikan tugasku, aku harus cepat melakukannya. Jadi
omongan dia cukupku bales,
“BOMAT !” Aku segera membulatkan
LJK-ku. Dua puluh menit berlalu, akhirnya selesai juga. Untung aja ini
soal udah aku pelajarin tadi malem. Karena aku lagi gondok dengannya, jadi
kuputuskan untuk mencoret-coret kertas soalku. Dan lagi-lagi ia berkomentar,
“Cepet banget...” Dia nyindir
kah????. Sambil senyum-senyum gitu lagi. Ishhhhh bikin aku bete. Aku salting
sendiri jadinya. Dan gara-gara kegeeran, aku menoleh kearahnya. Dan bagusnya,
ia memanfaatkan kesempatan itu, lagi-lagi ia bertanya padaku. Waw... pelajaran
Ekonomi, apakah aku bisa menjawabnya??
“Kak nomer 24 tau ga?” Tanyanya
padaku. Teory?? Mmm bisalah ngasal. Eh tapi aku masih inget ding, itukan
pelajaran kelas sepuluh. Aku menggeser bangku mendekati bangkunya, kuletakkan
tanganku diatas meja, menggeser pelan-pelan kearah kertas LJK-nya, sambil
waspada kalau-kalau ada guru yang sedang mengamati kami. Lalu kutitiki hasil
jawabanku diatas kertasnya. Kukira sudah itu saja yang ia tanya, ternyata...
“Kalau yang ini?? Yang ini?? ” Sambil
menunjukkan beberapa nomer soal yang belum ia jawab. Waahh singake ni bocah.
Masa iya aku jadi mikir lagi -___- . Untungnya aku pinter. Hahaha, sombong
dikit bolehlah. Dengan pede-nya aku silang hasil pilihanku diatas kertasnya.
Lalu ada beberapa yang tidak aku tahu. Dia meminta bantuanku untuk
melihat jawaban milik temannya yang duduk disebelah kiriku. Its oke... gak
susah juga. Tapi maap-maap aja,kalo aku salah ngeliat jawabannya.
Bel berbunyi, terdengar suara
instruksi dari guru pengawas untuk mengumpulkan hasil jawaban yang telah kami
isi. Aku yang sedang meneliti hasil jawabanku kali-kali saja ada yang belum
dibulatkan, mendengar suara dari samping.
“Kakak udah selesai belum??”
Kelihatannya ia sedang membereskan alat tulisnya yang berserakan diatas meja.
Aku menoleh, ia tersenyum padaku
dengan raut wajah bertanya-tanya. Kujawab saja “Udah lo kumpulin aja duluan. ”
Dia mengerti instruksiku. Ia bangkit berdiri, sebelum meninggalkanku
sendirian, ia berkata,
“Yaudah, duluan ya kak” Lagi dan lagi
disertai senyum indahnya. Iiiiissssssh jadi pengen nyuri senyum kamu deh. Manis
bangettttt. Aku yang spicles melihatnya, hanya bisa mengangguk dan membalas
senyumnya.
Tak lama ia keluar, aku menyusulnya
keluar. Dan tanpa sengaja aku menangkap sosoknya sedang berdiri didepan kaca
toilet laki-laki, ia bercermin, memainkan rambutnya. Subhanallah dia ganteng ya
ternyata. Aku melewatinya, tapi kok ia tak menegorku sama sekali sih?. Mm..
mungkin saja anak itu tak melihatku, pikirku positif padanya.
Hari selanjutnya, yaitu Jum’at, hari
terakhir ujian semester disekolahku. Untuk kebanyakan siswa, hari ini adalah
hari yang dinanti-nanti. Mengapa?? Sebab bisa dibilang penyiksaan telah
berakhir, and the welcome holiday. Tapi entah mengapa, aku benci dengan hari
ini. Kalau boleh jujur, aku gak mau ada hari ini, pengen terus ulangan biar
bisa duduk bareng sama dia. Tapi itu berarti setiap malem aku harus belajar dong??.
Kalau dipikir-pikir sih yaa gak ada ruginya juga belajar. Tapiiii bisa-bisa aku
diamuk siswa se-sekolahan nanti. Hehehehe.
Pukul setengah enam pagi, aku sudah
siap. Hari biasanya, aku menunggu jemputan dari saudaraku. Kecuali hari ini,
aku ingin berangkat sendiri. Ingin cepat-cepat sampai sekolah. Gak mau membuang
sedetik waktu aja kebersamaanku dengannya. Sesampainya disekolah, jeng
jeng..... masih sepi sekali. Belum banyak siswa yang datang, guru-guru pun juga
masih sedikit yang berjejer didepan ruang piket untuk disalami. Aku berjalan
gontai kekelas, pasti belum pada dateng, termasuk dia. Aku menunduk menaiki
satu persatu anak tangga. Yah bakal krikkrik deh dikelas sendirian. Merasa ada
seseorang dibelakangku, aku percepat irama langkahku tanpa ingin tahu siapa
sosok dibelakangku. Sesampainya didepan pintu kelas, ketika kuingin memegang
knop pintu, aku tersalipi oleh seseorang yang sudah terlebih dahulu memegang
knop pintu kelasku. Ia membukakannya untukku. Lagi-lagi aku tak melihat
siapa sosok itu. Kulangkahkan kaki menuju meja milikku. Benar saja dugaanku, ia
belum datang. Aku lemas sekali.
“Kalo tau gitu mending tadi berangkat
bareng om gue aja” Gerutuku kesal.
“Emang tadi lo berangkat sendiri Ay?”
Tanya teman sekelasku, Vanto.
“He.eh buru-buru mau liat orang. Eh
dianya malah belom dateng To. Kesel deh gue.” Sedikit curcol padanya.
“Emang siapa Ay??” Tanyanya
penasaran.
“Mau tau banget?. Udah ah gue mau
belajar, jangan ganggu.” Pintaku padaanya.
“Oke sip”. Jawabnya singkat. Ia
langsung memutar badannya kearah depan. Entah sedang sibuk apa ia. Tak lama
setelah perbincangan antara aku dengan Vanto. Munculah anak itu. Ia langsung
duduk disampingku. Dan lagi-lagi sok sibuk mengeluarkan beberapa barang dari
tasnya. Aku yang melihatnya, memasang tampang acuh tak acuh, pura-pura
mengabaikannya.
“Selamet pagi kak.” Ia selalu memulai
percakapan diantara kami, dengan sapaan selamat pagi. Aku yang sedang merasa
dikecewakan olehnya, tak menggubrisnya. Ia terdiam. Tidak melakukan aktifitas
apapun. Kupikir ia sibuk membaca. Ternyata ketika kutoleh dirinya, aku
dikagetkan dengan sepasang mata yang sedang mengamatiku. “Sombongnya. Tak
membalas ucapanku”. Ungkapnya sok ngambek dengan senyum menggoda. “Lagi bete ya
kak? Kenapa?”. Whats ni bocah kepo banget. Dia ngomong
udah tiga kali, sedangkan aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Entah ada
angin apa. Aku bicara sok jutek, seperti cewe yang lagi ngambek gara-gara sang
kekasih telat dateng.
“Baru dateng dek?? Dari rumah
langsung kesekolahkan??” Ucapku dengan nada tinggi dan wajah bete. Kelihatannya
ia bingung dengan responku.
“Hah?? lahkan kita bareng kak. Isshh
nohkan kakaknya sombong. Masa gak engeh si??” Ungkapnya dengan nada sok marah.
Loh kok jadi dia yang kesel?. Harusnya kan aku.
“Bareng?? Udah jelas-jelas tadi gue
naik angkot. Dan diangkot tuh gak ada elo ya dek. Gak usah pura-pura deh”. Loh kok aku jadi emosi beneran sih? Wah
gawat ini. Masa pagi-pagi suasananya udah gak enak gini.
“Loh kok kakak jadi marah si? Aku
jadi bingung.” Ia menggaruk-garukkan kepalanya, yang kuyakini sebenarnya tak
gatal sedikit pun. “ Lagian emang aku bilang bareng diangkot apa?. Orang aku
juga bawa motor ka. Hehehehe. Kita barengnya tuh di tangga, masuk kekelas kita
juga bareng. Siapa yang bukain pintu untuk kakak, kalo bukan aku?. Ish kakak
nya mah sombong”. Ucapnya lagi dengan nada yang membuatku merasa berdosa.
Jadi tadi sewaktu aku naik tangga dibelakangku itu dia? Yang bukain pintuku
juga dia? Lah terus kok waktu aku duduk dia gak duduk? Dia kemana dong?.
“Tadi aku
keluar lagi. Abis cuma ada kakak, sama dia aja (sambil menunjuk Vanto, temanku
sekaligus orang yang duduk didepanku) aku kan gak enak kalo jadi orang ke tiga.” Ungkapnya seakan ia bisa membaca
pikiranku.
“Ih apa banget si dek. Udah ah akunya
mau belajar. Belajar sana.” Ujarku memutuskan percakapan dengannya.
“Emang nanti kakak pelajarannya
apa?”. Lah
ni bocah nanya lagi.
“PKN dek.” Jawabku singkat.
“Aku nanti biologi kak. Bantuin ya
kak.”
“Iya.”
“Jangan pelit-pelit kak”.
“InsyaAllah dek”
“Oke. Kak selamet belajar.”
‘Hhmm’’
“Gak bilang makasi sama aku kak?”
Yaampun
ni bocah, ngajak gue ngobrol atau lagi menguji kesabaran gue. “Iyaaaak dek. Makasi banget ya,
untuk semuanya. Walopun gue gak tau untuk apa.” Jawabku mulai sewot.
“Ih gak ikhlas banget si kak.”
“Yaampun dek.., lo tuh....”
“Eh bro. Akhirnya lo dateng juga”. Ia
menyapa teman sekelasnya yang baru saja memasuki ruangan kami. Anjirrrr
gue dikacangin. Jujur
saja aku kesal sekali.
“Eh iya kak. Tadi mau ngomong apa?”
Ia masih ingat kalau telah memotong pembicaraanku.
“Gak dek. Yaudah ya, gue keluar
duluan.” Aku meninggalkannya dengan kesal dihati. Mungkinkah iya merasa
bersalah padaku?? Jawabannya tidak. Mana mungkin anak bocah seperti dia sudah
bisa merasakan hal seperti itu. Belum ada sepuluh langkah aku berjalan, bel
sudah berbunyi. Aku berbalik halauan, mengurungkan niat bertemu dengan Siti.
Setelah sampai kelas, aku duduk memasukan semua buku diatas meja kedalam tas,
dan berdiri untuk menaruhnya didepan kelas. Baru saja aku berdiri,
ia menawarkan diri padaku. Dengan memberi isyarat tangannya menunjuk
tasku. Aku yang mengerti, langsung menyerahkan tasku padanya.
Sekembalinya ia menaruh tas kami didepan, aku mengucapkan terimakasih. Dan ia
berkata,
“Sebagai tebusan kesalahanku kak.
Maap ya.” Tadinya aku ingin mengajak debat dirinya. Tapi aku sedang malas
mencari masalah. Jadi kubilang saja,
“Ya”.
Lima belas menit berlalu. Waw aku
sudah selesai. Sumpah soalnya mirip banget seperti soal lks. Untungnya
aku belajar lks tadi malam. Kuputuskan untuk mengamati guru pengawas yang
sedang enak-enakan mengobrol, bikin bising suasana kelas deh. Eh tapi ya baik
juga sih, ngasih kesempatan nyontek untuk siswa yang gak belajar semalam,
termasuk teman sebelahku ini. Tiba-tiba saja aku jadi mengingatnya, kulihat
dirinya yang sedang sibuk menulis sesuatu. Menulis? Bukankah LJK hanya
dibulatin saja jawabannya ya??? Loh kok dia nulis panjang banget??. Setelah
menulis, ia menggulung kertas itu. Dan dengan seenak jidatnya, ia melempar
kertas itu ke rokku. Wah kurang asem nih bocah. Kalau ke gep sama guru kan, aku
bisa berabe. Bisa-bisa aku yang dituduh menyontek. Dan lagi-lagi dengan
sekonyong-konyongnya iya berkata “Kak tolong oper kesamping dong.”
Aku yang kaget, tanpa sengaja
mencubit pahanya. Lagian berani-beraninya dia tidak sopan padaku. Dan mungkin
saja cubitanku kencang sekali, sampai sampai ia meringis pelan, dan langsung
mengusap-usap pahanya sambil cengar-cengir.
Bel istirahat berbunyi, aku berdiri
dan ia juga ikut berdiri. Aku memberikan LJK kepada guru pengawas, ia juga
sama. Aku kembali duduk mengambil mukenah di tas. Dia pun juga mengikutiku. Aku
segera keluar kelas. Ketika kuingin membuka pintu, ia membukakannya untukku.
Aku menoleh sekilas. Dan mengucapkan terimakasih padanya. Aku meninggalkannya
yang sedang menutup pintu, lalu ia seakan mengejar langkahku, dan ketika
langkah kami sejajar ia berbisik “ Lumayan juga cubitannya. Kayaknya merah
nih.” Godanya.
Mukaku langsung memerah. Hadoooh aku
memalukan sekali. Seakan harga diriku telah jatuh, aku mencepatkan langkahku.
Sumpah aku dipermalukan adik kelas. Awas aja dia. Ujian ke dua nanti, aku
gak bakal ngasih tauin ataupun bantuin dia.
Lagi-lagi aku telat masuk kelas,
dan yang lebih parahnya aku menenteng sepatuku tidak memakainya. Yaampun
bopung (bocah kampung) sekali aku. Aku terduduk dibangkuku sambil mngatur
napas. Terdengar suara cekikikan dari teman sebangkuku. Dan ia
berkomentar,
“Makanya kak, kalau di mushola jangan
ngegosip.”
“Ishh apaan si dek. Sok tau lo.”
“Orang aku denger kok. Udah
pake tuh sepatu.”
“Ih dasar nguping. Iye ini juga lagi
dipake. Udah gak usah senyum-senyum. Sok manis banget sih”
“Emang. hehehe”
Aku yang mendengar ucapanya hanya
memberi gaya seperti orang muntah. Dan lagi-lagi ia ketawa. Dek
gue tau lo manis, makanya lo senyum mulu, tapi kok gue ragu, antara lo selalu
bahagia atau otak lo yang rada miring ya? batinku saat itu.
Sepuluh menit lagi ujian selesai. Dan
aku baru mengisi sebagian soalku. Aku panik, ingin menyontek tapi pengawasnya
killer. salah-salah nyontek nanti bisa ketauan, dan bisa diambil kertas
ujianku. Lebih baik mengarang bebas deh. Kulirik dirinya. Pelajaran apa ia kali
ini? Bahasa inggris. Dan kulihat LJKnya. Waw ia sudah selesai. Pintar kali dia.
Kalo tau gitu mending kemaren tanya dia aja bahasa inggris. Ia sudah
berlihay-lihay. Sombongnya. Mungkin ia menyadari kalau sedang kulihati. Ia
menengok kearahku sambil tersenyum. Aku yang spicles, sok pura-pura buang muka,
tak melihat senyumnya. Dengan tak banyak ngomong, ia mengambil soalku,
lalu mengisi jawabanya yang ia lihat dari temanku yang duduk disebelahnya.
Banyak sekali ia membantuku. Hampir dua puluh soal. Waw... aku senang, tapi
malu juga sih.
Akhirnya bel berbunyi. Aku yang
masih ragu-ragu dengan jawabanku, sengaja mengumpulkan terakhir ke guru. Ia,
yang telah selesai dari tadi, tidak segera mengumpulkan. Sedang menunggu apa
dirinya?.
“Dek kamu gak ngumpulin?”
“Kakak udah selesai?” Loh kok ditanya
malah nanya balik.
“Udah sana ngumpulin duluan. Masih
ada satu lagi kan ujiannya?. Jangan buang-buang waktu. Sono gih keluar”.
Jawabku sok nasehati.
“Nanti tinggal agama kak. Aku udah
belajar kok. Masih ada yang belom kak?” Tanyanya perhatian.
“Enggak. Lagi ngecekin nama aja.
Kali-kali salah nama.”
“Oh iya kita belum kenalan kak. Aku
Andi. Kakak?”
“Ohhh hehehe, ngerasa juga kamu.
Padahal dari kemarin pengen kenalan, tapi gak enak ah. Namaku Ayu.’
“Haiiii kak Ayuu.” Candanya.
“Ih apa banget sih Ndi. Lebay ah”.
Kami jadi cekikikan berdua. Dan guru pengawas melihat kami yang ngobrol.
Pengawas yang killer itu, langsung menghampiri meja kami, dan segera mengambil
LJK kami berdua sambil berkata,
“Kalau sudah selesai, silahkan
mengobrol diluar.” Jengjeng kami langsung kicep. Dan segera melarikan diri
keluar kelas. Aku ditinggal olehnya, padahal tadinya ingin mengucapkan salam
perpisahan. Tapi sepertinya ia tidak mau mendengarnya. Yasudahlah.
^&*()^&*()^
Aku tersadar dari lamunanku yang
panjang. Indah sekali bila mengingat masa itu. Kulihat jam di dinding. Hah udah
jam sebelas malam. Lumayan juga ya, bernostalgia mengingat dirinya ternyata
menyita waktuku. Besok hari Senin. Aku harus tidur sekarang juga. Bisa-bisa
terlambat besok. Lalu mungkinkah aku juga akan sekelompok dengannya?? Atau
tidak??. Entahlah. Aku percaya pada Mu Ya Allah. Apapun yang terjadi besok,
itulah yang terbaik untukku. Lalu bagaimana dengan perasaanku??. Rasanya cukup
sampai sini saja aku mengharapkan dirinya. Habis gak ada perkembangan sama
sekali. Biarkanlah temanku yang mendapatkannya. Aku tahu Allah telah memberikan
yang terbaik untuk setiap umatNya kok. Ya Allah, bila nanti jodohku bukan
dirinya, setidaknya aku ingin sekali jodohku nanti yang beriman dan bertakwa
padaMu seperti dirinya. Amiiiin .
THE
END
@yayusimsan